Dua Kisah Berkurban Paling Menggetarkan Hati



Yati (60), seorang nenek yang tinggal di Tebet, Jakarta Selatan ini bukan orang kantoran atau tinggal di rumah gedongan. Yati hanya seorang pemulung, tiap hari mencari sampah untuk mengais rizki yang halal.

Meski pendapatannya tak seberapa, hanya Rp 25 per hari, Yati punya tekad kuat untuk bisa berkurban di Hari Raya Idul Adha. Niatnya itu akhirnya bisa tercapai tahun ini.

"Saya nabung tiga tahun untuk beli dua ekor kambing. Yang besar itu saya beli Rp 2 juta, yang kecil Rp 1 juta," kata Yati saat berbincang dengan merdeka.com di rumahnya.

Yati tiap hari dibantu Maman (35). Kadang untuk menambah penghasilan, Maman ikut menarik sampah di sekitar Tebet. "Penghasilan sehari tak tentu. Seringnya dapat Rp 25 ribu. Dihemat untuk hidup dan ditabung buat beli dua kambing itu," kisah Yati.

Dua Kisah Berkurban Paling Menggetarkan Hati [ www.BlogApaAja.com ]

Yati mengaku sudah seumur hidup ingin berkurban. Wanita tua asal Madura itu malu terus mengantre daging kurban. Keinginan ini terus menguat, saat bulan Ramadan. Yati makin giat menabung.

"Saya ingin sekali saja, seumur hidup memberikan daging kurban. Ada kepuasaan, rasanya tebal sekali di dada. Harapan saya semoga ini bukan yang terakhir," jelasnya.

Yati membeli dua kambing itu di Pancoran. Maman yang mengambil dua kambing itu dengan bajaj dan memberikannya ke panitia kurban di Masjid Al-Ittihad, Tebet, Jakarta Selatan. Saat Maman menyerahkan dua kambing untuk kurban itu, jemaah masjid megah tersebut meneteskan air mata haru.

Yati sehari-hari tinggal di gubuk triplek kecil di tempat sampah Tebet. Tak ada barang berharga di pondok 3x4 meter itu. Sebuah televisi rongsokan berada di pojok ruangan. Sudah bertahun-tahun TV itu tak menyala.

Yati mengaku sudah lama tinggal di pondok itu. Dia tak ingat sudah berapa lama membangun gubuk dari triplek di jalur hijau peninggalan Gubernur Legendaris Ali Sadikin itu. "Di sini ya tidak bayar. Mau bayar ke siapa? ya numpang hidup saja," katanya ramah.

Setiap hari Yati mengelilingi kawasan Tebet hingga Bukit Duri. Dia pernah kena asam urat sampai tak bisa jalan. Tapi Yati tetap bekerja, dia tak mau jadi pengemis.

"Biar ngesot saya harus kerja. Waktu itu katanya saya asam urat karena kelelahan kerja. Maklum sehari biasa jalan jauh. Ada kali sepuluh kilo," akunya.

Keajaiban salat tahajud

Cerita mengharukan juga datang dari Iwan Lutfi. Profesinya juga bukan orang kantoran atau bos besar di perusahaan. Iwan hanya orang biasa. Dia sehari-hari bekerja sebagai pemulung. Pemulung ini sejak lama juga ingin berkurban seperti orang berpunya. Niatnya itu tahun ini akhirnya kesampaian.

"Hari Senin malam ada kenalan yang datang ke rumah. Mereka memberi tahu kalau ada seorang dermawan yang akan membelikan kambing kurban. Saya pikir itu kambing kurban untuk disembelih di sini. Ternyata saya dibelikan kambing untuk berkurban," kata Iwan, yang biasa disapa dengan Acoy.

Setelah mendapat hewan kurban, hati dan pikiran Acoy setengah tidak percaya. Keinginannya bertahun-tahun akhirnya terwujud.

"Saya enggak tahu tiba-tiba dibawain kambing. Kambingnya besar, di atas dua jutaan saya kira," katanya. Acoy tak habis pikir bagaimana Allah menggerakkan hati dermawan untuk memberi rezeki kurban pada keluarganya.

"Saya ingat benar Minggu malam itu saya nonton sinetron tentang haji. Istri saya nanya, Abi kapan kita naik haji? Terus kapan kita kurban?" Malam itu istri saya tahajud katanya pengin kurban. Saya hanya bisa minta istri berdoa. Pagi harinya istri saya bilang tangannya gatal, katanya mungkin mau dapat rezeki. Eh nggak nyangka malamnya langsung dikabulkan," jelasnya.

Acoy tinggal di daerah kumuh dekat pasar kembang Rawa Belong, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Sehari-hari Acoy bekerja sebagai pemulung. Namun Acoy tidak hanya memulung, dengan kemampuannya, Acoy mengubah triplek bekas menjadi miniatur rumah dan kendaraan. "Kami memang kurang tapi pantang mengemis. Saya berusaha hidup lebih baik untuk anak-anak," ujarnya. ()

Follow On Twitter