Sejak menikah hampir 5 tahun silam, Feby Syarifah, 30, berhenti dari pekerjaannya di sebuah perusahaan media di Jakarta. Sekarang, dengan dua buah hatinya yang masih balita, Feby mengaku menikmati perannya yang penuh sebagai ibu rumah tangga.
Sayang, kenikmatan Feby itu harus mendapat tentangan dari ibunya. "Ibu sulit menerima anaknya sebagai ibu rumah tangga karena dia wanita karier sepanjang hidup," tutur Feby, Kamis (11/10) di Jakarta.
Sang bunda yang baru saja pensiun dari pekerjaannya sebagai pegawai negeri sipil setahun lalu, dikisahkan Feby, bahkan pernah berucap dengan nada kecewa kepada dia, "Percuma dong disekolahkan tinggi - tinggi," Feby sempat sedih. "Padahal saya menjalankan apa yang Tuhan rencanakan untuk saya," imbuh dia.
Ibunya itu, diakui Feby, selalu menekankan kepada Feby dan tiga adiknya agar tetap menjadi perempuan pekerja meskipun telah berumah tangga. Feby dan tiga adiknya memang dibesarkan sang bunda sendirian setelah ayah dan ibu mereka bercerai tahunan silam. Mungkin karena itulah, Feby berkisah, sang ibu terbiasa bekerja untuk menghidupi anak - anak dan menitipkan anak - anak kepada pengasuh dan berharap anak - anaknya akan melakukan hal serupa.
Nyatanya prinsip sang bunda itu tidak menurun kepada Feby. Feby malah enggan membiarkan anak - anaknya diasuh orang lain. Pertimbangannya keselamatan dan keamanan. "Banyak kasus penculikan anak," kata Feby.
Kalaupun tengah mempertimbangkan untuk kembali bekerja di luar rumah, Feby mengaku ingin bekerja paruh waktu sehingga tetap dapat mengasuh anak - anaknya. Benturan prinsip itu rupanya bukan yang pertama bagi Feby. "Dulu juga, sebelum saya menikah, sempat terjadi perdebatan. kata ibu, "Dulu mama menikah di usia 25, kok kamu sudah 26 belum menikah juga"," kenangnya.
Meski sempat merasa ditekan oleh sang bunda, Feby mengaku sudah berusaha memberikan pengertian. "Saya selalu berkomunikasi dan melakukan pendekatan supaya ibu mengerti," kata dia.
Pengalaman Dyah Astri Gita Pratiwi, 26, lain lagi. Orang tuanya, terutama sang bunda, beranggapan bahwa sebagai perempuan, Dyah harus bersekolah setinggi mungkin demi meraih kesuksesan. Dia pun didorong untuk langsung melanjutkan kuliah S-2. Sebaliknya, selepas lulus S-1 dari sebuah universitas negeri di Bandung, Jawa Barat, Dyah sebenarnya ingin mengecap dunia kerja.
"Beberapa kali kami terlibat adu argumen, tapi orang tua begitu keuh - keuh, padahal saya ingin sekali langsung bekerja," Dyah bercerita. Setelah mendapatkan masukan dari keluarga dan sahabat, juga beragam pertimbangan, Dyah akhirnya memutuskan untuk mengalahkan keinginannya dan memenuhi cita - cita sang bunda.
"Saya akhirnya mengalah dan mengikuti kata orang tua walaupun agak terpaksa. Toh tujuan mereka baik," ungkap Dyah yang saat ini menginjak semester lima program pasca sarjana di Universitas Indonesia. Meski dorongan orang tua agar dia langsung berkuliah S-2 itu baik, Dyah mengaku tetap merasakan sikap orang tua yang egois dan obsesif.
Pasalnya, kata Dyah, kedua orang tuanya yang lulus S-1 memang pernah ingin bisa kerkuliah S-2, tetapi tidak dapat mewujudkannya. Karena itulah, Dyah merasa, mereka mendorongnya demi mewujudkan obsesi itu.
Sayang, kenikmatan Feby itu harus mendapat tentangan dari ibunya. "Ibu sulit menerima anaknya sebagai ibu rumah tangga karena dia wanita karier sepanjang hidup," tutur Feby, Kamis (11/10) di Jakarta.
Sang bunda yang baru saja pensiun dari pekerjaannya sebagai pegawai negeri sipil setahun lalu, dikisahkan Feby, bahkan pernah berucap dengan nada kecewa kepada dia, "Percuma dong disekolahkan tinggi - tinggi," Feby sempat sedih. "Padahal saya menjalankan apa yang Tuhan rencanakan untuk saya," imbuh dia.
Ibunya itu, diakui Feby, selalu menekankan kepada Feby dan tiga adiknya agar tetap menjadi perempuan pekerja meskipun telah berumah tangga. Feby dan tiga adiknya memang dibesarkan sang bunda sendirian setelah ayah dan ibu mereka bercerai tahunan silam. Mungkin karena itulah, Feby berkisah, sang ibu terbiasa bekerja untuk menghidupi anak - anak dan menitipkan anak - anak kepada pengasuh dan berharap anak - anaknya akan melakukan hal serupa.
Nyatanya prinsip sang bunda itu tidak menurun kepada Feby. Feby malah enggan membiarkan anak - anaknya diasuh orang lain. Pertimbangannya keselamatan dan keamanan. "Banyak kasus penculikan anak," kata Feby.
Kalaupun tengah mempertimbangkan untuk kembali bekerja di luar rumah, Feby mengaku ingin bekerja paruh waktu sehingga tetap dapat mengasuh anak - anaknya. Benturan prinsip itu rupanya bukan yang pertama bagi Feby. "Dulu juga, sebelum saya menikah, sempat terjadi perdebatan. kata ibu, "Dulu mama menikah di usia 25, kok kamu sudah 26 belum menikah juga"," kenangnya.
Meski sempat merasa ditekan oleh sang bunda, Feby mengaku sudah berusaha memberikan pengertian. "Saya selalu berkomunikasi dan melakukan pendekatan supaya ibu mengerti," kata dia.
Pengalaman Dyah Astri Gita Pratiwi, 26, lain lagi. Orang tuanya, terutama sang bunda, beranggapan bahwa sebagai perempuan, Dyah harus bersekolah setinggi mungkin demi meraih kesuksesan. Dia pun didorong untuk langsung melanjutkan kuliah S-2. Sebaliknya, selepas lulus S-1 dari sebuah universitas negeri di Bandung, Jawa Barat, Dyah sebenarnya ingin mengecap dunia kerja.
"Beberapa kali kami terlibat adu argumen, tapi orang tua begitu keuh - keuh, padahal saya ingin sekali langsung bekerja," Dyah bercerita. Setelah mendapatkan masukan dari keluarga dan sahabat, juga beragam pertimbangan, Dyah akhirnya memutuskan untuk mengalahkan keinginannya dan memenuhi cita - cita sang bunda.
"Saya akhirnya mengalah dan mengikuti kata orang tua walaupun agak terpaksa. Toh tujuan mereka baik," ungkap Dyah yang saat ini menginjak semester lima program pasca sarjana di Universitas Indonesia. Meski dorongan orang tua agar dia langsung berkuliah S-2 itu baik, Dyah mengaku tetap merasakan sikap orang tua yang egois dan obsesif.
Pasalnya, kata Dyah, kedua orang tuanya yang lulus S-1 memang pernah ingin bisa kerkuliah S-2, tetapi tidak dapat mewujudkannya. Karena itulah, Dyah merasa, mereka mendorongnya demi mewujudkan obsesi itu.